Energi pasang surut adalah salah satu sumber daya laut yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia, padahal potensinya sangat besar. Berbeda dengan energi fosil yang terbatas, energi ini berasal dari gerakan air laut yang terus terjadi setiap hari. Teknologinya sendiri sebenarnya sudah ada, tapi masih jarang diterapkan secara luas. Bayangkan kalau kita bisa memanfaatkan ombak dan pasang surut untuk listrik—bisa mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak. Selain ramah lingkungan, energi pasang surut juga lebih stabil dibanding angin atau matahari. Nah, pertanyaannya sekarang: kenapa belum banyak dipakai? Ada beberapa faktor, mulai dari biaya hingga tantangan teknis. Tapi dengan perkembangan teknologi, peluangnya semakin terbuka. Yuk, cari tahu lebih dalam!

Baca Juga: Smart Grid Solusi Modern Untuk Jaringan Listrik

Potensi Energi Pasang Surut di Indonesia

Indonesia punya garis pantai terpanjang kedua di dunia, sekitar 99.000 km—itu artinya potensi energi pasang surut di sini sangat besar. Menurut Kementerian ESDM, beberapa lokasi seperti Selat Lombok, Selat Sunda, dan perairan Maluku memiliki kecepatan arus pasang ideal, di atas 2,5 meter per detik, yang cocok untuk pembangkit listrik tenaga pasang surut (PLTPs).

Yang menarik, energi ini lebih stabil dibanding angin atau matahari karena pasang surut bisa diprediksi dengan akurat. Contohnya, di perairan Kupang, NTT, fluktuasi pasang mencapai 3-4 meter—cukup untuk menggerakkan turbin. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bahkan sudah uji coba teknologi ini di beberapa daerah, meski masih skala kecil.

Tapi kenapa belum banyak dipakai? Pertama, biaya instalasi awalnya mahal karena butuh infrastruktur khusus. Kedua, tantangan ekosistem—pemasangan turbin bisa mengganggu habitat laut kalau tidak dirancang dengan baik. Namun, dengan teknologi terkini seperti turbin bawah permukaan (seperti yang dikembangkan Ocean Energy Europe), dampak lingkungan bisa diminimalisir.

Yang jelas, kalau dikelola serius, energi pasang surut bisa jadi solusi buat daerah terpencil yang sulit dijangkau listrik konvensional. Bayangkan pulau-pulau kecil di Indonesia Timur bisa mandiri energi cuma dari gerakan air laut! Tantangannya sekarang adalah bagaimana membuat teknologi ini lebih terjangkau dan ramah ekosistem.

Baca Juga: Mengenal Smart Grid dan Jaringan Pintar Masa Depan

Cara Kerja Pembangkit Tenaga Ombak

Pembangkit tenaga ombak mengubah gerakan air laut menjadi listrik dengan beberapa metode. Yang paling umum adalah menggunakan turbin bawah air atau pelampung mekanis. Misalnya, teknologi oscillating water column (OWC) — seperti yang dipakai di EMEC di Skotlandia — bekerja dengan menangkap udara yang tertekan oleh ombak dalam ruang tertutup, lalu menggerakkan turbin.

Ada juga sistem point absorber, di mana pelampung di permukaan laut naik-turun mengikuti ombak dan menggerakkan generator listrik di dasar laut. Contohnya proyek WaveStar di Denmark. Sementara teknologi attenuator (seperti Pelamis Wave Energy Converter) menggunakan rangkaian tabung mengambang yang bergerak fleksibel dengan ombak untuk menghasilkan energi.

Bagian kuncinya adalah power take-off (PTO), sistem yang mengubah gerakan mekanik jadi listrik. Beberapa desain menggunakan hidrolik, sementara lainnya memakai generator linier langsung. Tantangannya? Ombak tidak konstan — kadang besar, kadang kecil — jadi sistem harus bisa menyesuaikan efisiensinya.

Menariknya, teknologi ini terus berkembang. NREL di AS bahkan meneliti turbin yang bisa "menyelam" lebih dalam saat ombak terlalu besar untuk menghindari kerusakan. Intinya, prinsip dasarnya sederhana: manfaatkan energi kinetik ombak, tapi eksekusinya butuh rekayasa canggih agar tahan lama dan efisien di lingkungan laut yang keras.

Baca Juga: Manfaat AC Inverter untuk Lingkungan yang Sehat

Keunggulan Energi Laut Dibanding Sumber Lain

Energi laut — termasuk pasang surut dan ombak — punya beberapa keunggulan keren yang bikin sumber energi lain kalah saing. Pertama, konsistensi: sementara matahari dan angin tergantung cuaca, arus pasang surut bisa diprediksi 100 tahun ke depan berkat gravitasi bulan. NOAA bahkan punya peta prediksi pasang global yang akurat.

Kedua, kepadatan energi. Air laut 800 kali lebih padat daripada udara, jadi satu turbin bawah air bisa hasilkan daya setara dengan puluhan turbin angin. Menurut IRENA, energi ombak punya potensi teknis global hingga 29.500 TWh per tahun — cukup untuk 3x kebutuhan listrik dunia saat ini!

Ketiga, jejak lingkungan kecil. Berbeda dengan PLTU yang emisi CO₂-nya gila-gilaan, pembangkit tenaga ombak hampir nol emisi. Teknologi modern seperti turbin tidal kite (Minesto) bahkan dirancang untuk minim gangguan ekosistem laut.

Plus, energi ini cocok untuk daerah kepulauan. Indonesia dengan 17.000 pulau bisa manfaatkan ini tanpa perlu jaringan transmisi panjang. Contoh suksesnya ada di Orkney Islands — pulau terpencil di Skotlandia yang 100% mandiri energi dari laut.

Yang terakhir: umur panjang. Instalasi energi laut bisa bertahan 50-100 tahun — jauh lebih awet daripada panel surya yang degradasi setelah 25 tahun. Jadi meski biaya awalnya mahal, ROI-nya sepadan dalam jangka panjang.

Baca Juga: Tips Efisiensi Energi dan Penghemat Listrik Mobil

Tantangan Pengembangan Energi Pasang Surut

Meski potensinya besar, pengembangan energi pasang surut masih menghadapi tantangan serius. Pertama, biaya instalasi gila-gilaan — membangun infrastruktur di laut yang korosif butuh material khusus seperti baja tahan karat atau komposit. Menurut Ocean Energy Systems, biaya awal PLTPs bisa 2-3 kali lebih mahal daripada angin lepas pantai.

Kedua, tantangan teknis ekstrim. Turbin harus tahan terhadap tekanan air garam, sedimentasi, bahkan serangan teritip (yang bisa mengurangi efisiensi turbin hingga 30%). Proyek MeyGen di Skotlandia sempat mengalami kerusakan turbin karena arus pasang yang lebih kuat dari prediksi.

Masalah lain adalah dampak ekologis. Pemasangan struktur di dasar laut bisa mengganggu migrasi ikan atau merusak terumbu karang. Studi dari Pacific Northwest National Laboratory menunjukkan bahwa kebisingan turbin bisa mengacaukan sonar mamalia laut seperti lumba-lumba.

Regulasi juga jadi kendala. Di Indonesia, izin proyek laut melibatkan 18 instansi berbeda — dari Kementerian Kelautan hingga Dirjen Minerba. Belum lagi protes nelayan tradisional yang khawatir terganggu.

Terakhir, kurangnya insentif. Sementara solar dan angin dapat subsidi besar, teknologi pasang surut masih dianggap "riskan" oleh investor. Padahal, seperti yang dibuktikan Pembangkit Sihwa-ho di Korea Selatan, kalau sudah jalan, operasinya justru lebih murah daripada PLTU batubara dalam jangka panjang.

Baca Juga: Smart Home Hemat Energi Rumah Pintar Ramah Lingkungan

Inovasi Terkini dalam Pemanfaatan Tenaga Ombak

Industri tenaga ombak sedang mengalami revolusi teknologi yang seru banget. Salah satu terobosan terkini adalah turbin kites dari Minesto yang mirip layang-larang bawah air — bisa "terbang" mengikuti arus laut dengan kecepatan 10x lebih cepat dari aliran airnya sendiri, menghasilkan daya hingga 1,2 MW per unit.

Ada juga konsep wave energy converter modular seperti CorPower Ocean dari Swedia. Desainnya terinspirasi dari pompa jantung manusia, menggunakan prinsip resonansi untuk memperbesar gerakan ombak kecil sekalipun. Efisiensinya diklaim mencapai 300% lebih tinggi daripada teknologi konvensional.

Yang paling futuristik mungkin ocean battery dari Ocean Grazer — sistem penyimpanan energi di dasar laut yang bekerja seperti bendungan hidro, tapi dalam skala kompak. Ketika produksi energi berlebih, air dipompa ke kantong bawah laut; saat dibutuhkan, air dilepas untuk menggerakkan turbin.

Bahkan ada yang memanfaatkan biofouling (lumut laut yang biasanya merugikan) jadi keuntungan. EC-OG mengembangkan material khusus yang justru memanfaatkan teritip untuk mengurangi turbulensi di sekitar turbin.

Tak ketinggalan, kecerdasan buatan mulai dipakai untuk optimasi. WaveRoller di Finlandia menggunakan algoritma prediksi ombak real-time untuk menyesuaikan sudut panelnya secara otomatis, mirip seperti panel surya tracking matahari. Inovasi-inovasi ini bikin energi ombak semakin dekat ke skala komersial yang viable.

Baca Juga: Panduan Memilih Teknologi AC Terbaru yang Tepat

Dampak Lingkungan dari Energi Laut

Energi laut memang bersih dari emisi, tapi bukan berarti tanpa dampak lingkungan. Yang paling krusial adalah gangguan akustik — suara turbin pasang surut bisa mencapai 140 desibel, setara konser rock bawah laut! Studi SEER menemukan ini bisa mengacaukan navigasi paus dalam radius 5 km, meski teknologi baru seperti turbin magnet permanen sudah mengurangi kebisingan hingga 60%.

Efek lain adalah perubahan pola sedimentasi. Instalasi pembangkit di Selat Pentland Firth (EMEC) ternyata mengubah endapan pasir hingga 1 km ke hilir, mempengaruhi habitat kerang-kerangan. Tapi ada juga dampak positif: struktur pembangkit sering jadi artificial reef baru. Data dari RSPB menunjukkan 40% lebih banyak ikan karang di sekitar turbin tidal dibanding area sekitarnya.

Yang sering dilupakan: efek elektromagnetik. Kabel bawah laut menghasilkan medan magnet yang bisa mengganggu hiu atau pari yang navigasinya bergantung pada elektroresepsi. Solusinya? Ocean Renewable Power Company mengembangkan kabel berpelindung khusus yang mengurangi medan magnet hingga 90%.

Terakhir ada isu ruang laut. Konflik dengan nelayan atau rute kapal harus diatasi dengan zonasi cerdas. Belajar dari kasus Bay of Fundy di Kanada, pemetaan partisipatif dengan komunitas lokal jadi kunci keberhasilan. Jadi meski dampaknya ada, dengan desain tepat energi laut tetap lebih hijau 95% dibanding fosil.

Baca Juga: Minuman Terbaik untuk Kesehatan Ginjal Anda

Proyeksi Penggunaan Energi Pasang Surut Global

Proyeksi energi pasang surut global sedang naik daun — IRENA memprediksi kapasitas terpasang bisa mencapai 10 GW pada 2030, dari sekitar 500 MW saat ini. Korea Selatan jadi pemimpin dengan proyeksi 2,1 GW dari proyek seperti Sihwa-ho dan Uldolmok, sementara Inggris lewat Swansea Bay Tidal Lagoon menargetkan 320 MW sendirian.

Yang menarik, pasar Asia-Pasifik diprediksi tumbuh paling cepat (MarketWatch), didorong oleh kebutuhan energi bersih di kepulauan seperti Filipina dan Indonesia. Analis GlobalData memperkirakan investasi global di sektor ini bisa tembus $10 miliar pada 2025, dengan teknologi floating tidal turbine jadi primadona.

Tapi tantangannya tetap ada. Laporan Ocean Energy Europe menyebut hanya 20% lokasi pasang surut global yang benar-benar ekonomis untuk dikembangkan saat ini. Solusinya? Skema hybrid seperti di Orkney Islands, gabungkan tidal, angin, dan penyimpanan hidrogen untuk efisiensi maksimal.

Yang paling ambisius mungkin proyek Tidal Range di Teluk Fundy — jika jadi, bakal jadi pembangkit pasang surut terbesar di dunia dengan kapasitas 2.5 GW. Sementara negara-negara kecil seperti Kanada dan Prancis fokus ke mikro-grid tidal untuk komunitas pesisir terpencil. Intinya: energi pasang surut mungkin tak akan menggantikan solar atau angin, tapi akan jadi pemain kunci di mix energi bersih masa depan.

energi laut
Photo by Benjamin on Unsplash

Energi pasang surut dan tenaga ombak punya masa depan cerah sebagai solusi listrik bersih, terutama untuk negara kepulauan seperti Indonesia. Teknologinya terus berkembang, biaya semakin kompetitif, dan dampak lingkungan bisa diminimalisir dengan inovasi terbaru. Meski tantangannya masih ada—mulai dari regulasi hingga adaptasi ekosistem—potensinya terlalu besar untuk diabaikan. Yang jelas, tenaga ombak bukan lagi sekadar eksperimen lab, tapi pilihan realistis untuk transisi energi. Tinggal tunggu momentumnya: saat semua faktor ekonomi, teknologi, dan kebijakan akhirnya sejalan. Laut kita bisa jadi powerbank raksasa!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *